Pagi yang cerah, saat itu hari Sabtu. Aku sedang membereskan kelas untuk
persiapan masuk diawal semester baru. Aku seorang guru baru disebuah SD
swasta. Sebelumnya aku hanya menggantikan salah satu guru yang kebetulan
harus pulang kampung.
“Assalamu’alaikum, bu, maaf saya mau bertemu dengan Bu Eka. Yang mana
ya?
“Waalaikumsalam, iya saya sendiri Bu.
Ada yang bisa saya bantu?
Terlihat seorang wanita cantik sedang menggendong anak kecil yang
ternyata adalah si bungsu. Dia menceritakan ketiga anaknya yang salah satunya
bernama Isam, berusia 8 tahun dan ia seorang
tunarungu. Ibu itu menyampakan bahwa Isam adalah siswa pindahan
dari sebuah sekolah swasta di Jawa. Kini Isam akan melanjutkan kelas 2
disekolah tempatku bekerja. Ibu itu menceritakan bahwa Isam akan menjadi salah
satu siswa saya. Saya sangat terkejut, dalam hati bertanya-tanya “apa aku
bisa?. Kulirik Isam yang sedang bermain kejar-kejaran dengan adiknya seraya
berkata dalam hati “Ya Allah, apa ini?baru sebentar aku mencoba menjadi seorang
guru, kini aku dihadapkan dengan seorang anak yang tuna rungu. Astaghfirullah.
Aku beristighfar tak henti-hentinya.
Ternyata Isam menyadari, bahwa sedari tadi ia kuperhatikan. Dengan
tersenyum manis dia memeluk Ibunya.
“Assalamu’alaikum sholih” sapaku dengan nada pelan seraya memegang
tangannya.
“Wa’ala i kum sa lam” jawabnya sambil malu-malu.
Ibunya menjelaskan, bahwa sejak kecil ia memang sudah sekolah wicara.
Jadi sekarang ia bisa bicara meski terbata-bata bahkan kalimatnya masih
terbalik-balik.
Setelah lumayan lama kami berbincang-bincang, Ibunya Isam berpamitan.
Bagaikan makan buah simalakama. Apa
yang harus aku lakukan?. Ditambah lagi saat itu sekolah kami sedang kekurangan
lokal. Semua siswa kelas 2 masuk siang, meskipun masuk siang kami tetap masih
numpang diruang kelas milik TK. Disana belum ada bangku dan belum ada papan
tulis besar. Jadi kami belajar beralaskan tikar dan menggunakan papan tulis
mini berukuran 50 x 100 cm.
Selang satu minggu aku bercengkrama
dengan bermacam-macam karakter anak ditambah Isam, setiap malam aku menangis.
Ya Allah, cobaan apa ini? Siapa aku hingga aku harus dititipi anak ini?
Bagaimana jika aku tak bisa apa-apa?. Sempat aku membenci kepala sekolah, karena menerima anak
itu. Tapi seiring berjalannya waktu, ditambah nasehat dari Ibuku bahwa yang
akan membuatku dewasa adalah beragam masalah yang kudapatkan, akhirnya aku
sami’na wa atho’na. kuterima dengan segala keikhlasan.
Dikeheningan malam, disepertiga malam
terakhir doa yang kupanjatkan tidak lain hanya memohon kekuatan untuk mendidik
mereka terutama Isam.
Aku mulai menyusun rencana. Apa yang
harus kulakukan pada Isam, karena hampir setiap hari dia kuacuhkan. Aku
menghubungi orang tuanya. Alhamdulillah Ibunya “welcome” dengan curhatanku. Aku
ceritakan bahwa aku tidak bisa mengajari Isam disaat jam belajar, aku minta
Isam diantar jam 11.00 siang untuk belajar dulu di perpustakaan. Ibunya lantas bilang padaku.
"Wah,,saya sangat senang jika Ibu ada waktu. berapa biaya tambahannya Bu?
Aku tersenyum, kukatakan padanya.
"Maaf bu, saya bukan membuka les privat untuk Isam. Ini hanya kebetulan saya ada waktu luang. Selain itu, saya merasa malu jika Isam tidak mendapatkan ilmu apapun selama kelas 2"
Setelah hampir lama saya dan Ibunya Isam saling bercerita, akhirnya Ibunya Isam setuju dengan usul dan keinginan saya. Selain itu, ternyata Isam dirumah juga privat dengan guru lain. Akupun menghubungi guru les nya untuk kumintai keterangan dan perkembangan Isam selama di rumah.
"Wah,,saya sangat senang jika Ibu ada waktu. berapa biaya tambahannya Bu?
Aku tersenyum, kukatakan padanya.
"Maaf bu, saya bukan membuka les privat untuk Isam. Ini hanya kebetulan saya ada waktu luang. Selain itu, saya merasa malu jika Isam tidak mendapatkan ilmu apapun selama kelas 2"
Setelah hampir lama saya dan Ibunya Isam saling bercerita, akhirnya Ibunya Isam setuju dengan usul dan keinginan saya. Selain itu, ternyata Isam dirumah juga privat dengan guru lain. Akupun menghubungi guru les nya untuk kumintai keterangan dan perkembangan Isam selama di rumah.
Alhamdulillah dengan kerjasama bersama
Ibunya dan guru lesnya akhirnya sedikit demi sedikit Isam mulai menunjukkan
perkembangan belajarnya. Meskipun Ia termasuk siswa yang berkebutuhan khusus,
namun semangat belajarnya luar biasa. Dia tak mau kalah dengan tema-temannya.
Yang sangat menonjol, dia sangat pandai di pelajaran MTK dan olah raga. Dia
sangat suka berhitung. Memang untuk pelajaran membaca dia kurang menguasai,
namun bukankah siswa normal lainnya pun sama? Ada yang hanya pandai dalam beberapa
bidang pelajaran saja.
Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, tak terasa sudah satu tahun Isam bersamaku. Saat – saat yang kucemaskan
adalah dia akan naik ke kelas 3, sedangkan aku tak bisa mendampinginya lagi.
Aku juga ragu, apakan dia bisa mengikuti pelajaran dikelas selanjutnya? “ah,
aku pasrahkan ia pada Allah. Harapanku guru selanjutnya yang akan memegang Isam
akan lebih sabar dibandingkan aku. Akan lebih baik dibandingkan aku. Karna aku
hanyalah seseorang yang baru belajar menjadi seorang guru.
Hal yang tak bisa kulupakan adalah
saat aku mengajari Isam jika bertemu dengan guru harus mencium tangan dan
mengucapkan salam kini anak itu mempraktekannya. Dimanapun dia bertemu
denganku, pasti dia lari untuk mengejarku, diraihnya tanganku lalu ia
mengucapkan salam seraya mencium tanganku. Selain itu, yang selalu kuingat
adalah ketika dia belajar tahfidz bersamaku kemudian ada ayat yang menurutnya
susah untuk dihafal, dia akan memejamkan matanya, mendengarkan ketukan-ketukan
yang kubuat, kemudian ia mulai menghafal.
Tak terasa air mata ini menetes tatkala mengingatnya. Semoga nanti ia
menjadi orang sukses bersama semangatnya yang tak pernah padam.