Lagi-lagi aku diberi amanah untuk
menjadi wali kelas 6. Tapi kali ini, ada yang menarik. Dikelasku ada seorang
anak tuna rungu, namanya Abrisam. Aku tak begitu khawatir, karena aku memiliki
shadaw teacher. Pak Wildan namanya.
Seperti biasa, aku paling suka
dan paling fokus dengan nilai matematika anak-anak. Mungkin karena aku suka
dengan matematika.
Diawal pembukaan belajar
matematika, seperti biasa aku selalu bertanya.
“Siapa saja yang tidak suka
dengan matematika di kelas ini? Tolong angkat tangan!”. Tanyaku.
Sontak mataku terbelalak, karena
setelah tangan diangkat begitu banyak tangan bergentayangan. Benar saja, dari
32 siswaku ada 25 siswa yang tidak suka matematika. PR besar bagiku, karena aku
harus mempersiapkan mereka menuju ujian.
Aku teringat dengan salah seorang
motivator.
“Buat pelajaran kita salah satu
pelajaran yang menyenangkan, agar siswa
membuka hati, membuka pikiran
(open minset bahasa kerennya) sehingga siswa kita akan merasa pelajaran
kita sangatlah mudah”
“Maa syaa Allah, kenapa matematika
tidak disukai?” tanyaku.
“Dari dulu remedi terus!”
“males bu!
“Matematika pelajaran sulit bu”
Dan masih banyak lagi teriakan
mereka.
Otakku mulai melayang, harus
kumulai dari mana untuk menjejeli mereka pelajaran kelas 6. Kemudian aku mulai
membentuk mereka menjadi 6 kelompok secara acak. Kemudian masing-masing
kelompok memilih nama kelompok beserta ketua kelompoknya. Masing-masing
kelompok diminta untuk membawa kertas spectra, dimana kertas tersebut digunakan
untuk menempel bintang bagi siswa atau kelompok yang mendapatkan reward karena
tenang, ibadahnya rajin, diskusinya menarik, jawaban tepat, tidak mengganggu
temannya saat belajar dan masih banyak yang lainnya.
Perlahan-lahan aku ajak mereka
main game matematika “siapa cepat raih angka 20”. Pasti pembaca sudah pernah ya
memainkan game seru satu ini. Alhamdulillah tanggapan mereka luar biasa. Mereka
antusias untuk mengalahkan temannya, meski belum tau kata kuncinya. Dua jam
pelajaran matematika hampir berakhir, namun mereka tetap saja bermain.
Diakhir permainan, pemenangnya
harus melawanku. Sorak riuh terdengar karena Eza yang harus melawanku. Jelas
saja tetap aku yang menang, karena Eza belum tahu kata kuncinya. 15 menit
menjelang ganti pelajaran, kuselipkan nasehat kepada mereka. Bahwasannya, matematika
itu pelajaran yang mudah dan menyenangkan.
Keesokan harinya, sebelum memulai
pelajaran matematika, aku membawa game seru lagi yang membuat mereka
bersemangat. Kali ini, yang bisa memecahkan teka-teki yang kubuat maka
kelompoknya mendapatkan sebuah bintang. Dan ternyata kelompok Eza lah yang
berhasil memecahkan teka-teki tersebut.
Suatu hari, saya sengaja
memberikan soal matematika yang begitu mudah, agar sebagian besar dari mereka
mendapat nilai 100. Saya yakin, patokan mereka adalah nilai. Saya minta kepada
mereka untuk berdiskusi dalam mengerjakannya. Benar saja, saat buku mereka
kembali dengan nilai 100 semua, mereka merasa bahagia. Alhamdulillah.
Diwaktu yang lain, aku memberikan
soal yang mudah lagi agar mereka mulai suka dengan matematika. Alhamdulillah,
apa yang aku pikirkan benar. Sms dan watshap dari orang tua wali murid mulai
berdatangan. Mereka berkata, anaknya mulai suka dengan matematika, ada yang
bilang belajar denganku asyik, pun ada yang bilang andai semua pelajaran aku
yang mengampu. Ah, kalimat begituan membuatku ingin terbang melayang. (sabar
eka, ini ujian). Lamunanku kuhentikan, aku mulai tersadar.
“ah, asyik karna itu fasion ku.
Coba aku mengampu pelajaran IPS, pasti garing”
Pada hari Senin, setelah aku
memberikan materi matematika. Aku menantang siswaku.
“Bu guru tantang kalian, bagi 2
orang pertama yang berani menghadap bapak kepala sekolah dan meminta soal
matematika materi ini kemudian dia bisa menyelesaikan di hadapan beliau, Bu
guru beri uang masing-masing 10 ribu”
Aku menyaksikan sesuatu yang lain
di kelasku. Kenapa?
Karena, wajah mereka menunjukkan
wajah siap. Sumringah, pertanda meng iyakan tantanganku.
Setelah sholat dzuhur berjamaah,
kakiku melangkah ke kantor untuk mengambil secarik kertas penting. Tapi,
sesampainya dikantor aku terkejut dengan dua siswaku yang sedang duduk dengan bapak
kepala sekolah.
“Mas Nabel, mas Abim, apa yang
kalian lakukan di sini?
“menjawab tantangan bu eka” jawab
mereka
Aku kaget, sekaligus bangga
dengan mereka. Aku biarkan mereka berbincang-bincang dengan kepala sekolah. Aku
tinggalkan mereka berdua di kantor. Ketika kulirik, mereka sudah meninggalkan
ruangan kepala sekolah, aku datangi ruangan beliau.
“Assalamualaikum pak”
“walaikumussalam wr wb ustadzah”
(yaelah, aku merasa tak pantas
dengan sebutan itu)
“emmmmmmmmm pak, dua siswa tadi
bisa jawab pertanyaan bapak tidak?”
“bisa,bisa”
“terimakasih pak”
Wah, hilang deh uangku, hahahaha.
Aku mulai melangkahkan kaki menuju kelas. Baru saja masuk kelas.
“Bu eka, mana janjinya? Aku
berani menghadap pak kepala sekolah dan bisa menjawab pertanyaan beliau” mereka
menagih janjiku.
“Ah yang bener? Bu eka gak percaya ah”
“Bu eka nih bilang saja gak punya
uang” ledek mereka
“macam-macam (kuambil dompet dan
kukeluarkan uang dua puluh ribu”
“Bu, boleh tidak ditukar bintang
saja? Kalau duit aku sudah punya banyak bu”.
Wah, padahal kalau duit kan bisa
untuk apa saja. Sedangkan bintang hanya secarik kertas bergambar bintang.
Untung nih aku, ah pikiran jahatku kubuang, aku harus memiliki pendirian
apalagi di depan siswaku.
“ya tidak boleh to mas, hadiah
uang ya uang, tidak boleh diganti bintang”
“bu, bu, bintang saja sih, 10
saja gak papa bintangnya”
“bintangnya tidak diperjual
belikan ya”
Akhirnya mereka menerima
hadiahku. Alhamdulillah kini di kelasku sebagian besar sudah menyukai pelajaran
matematika. Semoga seterusnya akan menyukai matematika.